Jumat, 15 April 2016

Bahasa Cecak

Tags

    


Baginda Harun Al-Rasyid menatap lekat dua ekor cecak di atas langit-langit kamarnya.Tampaknya kedua cecak itu sedang bercengkerama. Mereka menimbulkan bunyi-bunyian tak jelas. Ck, ck, ck, begitulah bunyinya.

            Sesekali kedua cecak itu menoleh seolah-olah melihat ke arah Baginda yang rebahan di atas ranjangnya. Karena merasa dilihat oleh kedua cecak itu, ia beranggapan kalau kedua cecak itu pasti sedang membicarakan dirinya. Tapi, apa yang mereka bicarakan? Baginda tak tahu karena ia bukan seekor cecak.

            Saking penasarannya, Baginda menyuruh pengawalnya untuk cepat-cepat memanggil Abunawas. Ya, siapa lagi di kerajaan ini yang cerdik seperti Abunawas. Tentu Abunawas bisa meredakan kegelisahan hati Baginda yang khawatir dirasani oleh cecak.

            Dengan tergopoh-gopoh, Abunawas berangkat menghadap raja sambil bergumam sendiri, “Ada apa lagi Paduka memanggil pada malam begini? Pasti Baginda akan memberiku perintah yang aneh-aneh.”

            Betul juga dugaan Abunawas. Baginda menyuruhnya menerjemahkan bahasa kedua cecak itu dan mengartikannya. Wah, sungguh tak masuk di akal. Bagaimana bisa Abunawas memahami bahasa kedua ekor  cecak itu? Mustahil rasanya. Tapi karena diancam akan dijebloskan ke dalam penjara jika tak bisa mengartikannya, Abunawas mulai memutar otak.

            “Paduka, bahasa cecak ini agak sulit diterjemahkan,” akhirnya Abunawas angkat bicara. “Jika diperkenankan, saya harus bertapa semalaman di kamar Paduka.”

            Baginda menyetujui. Semalaman beliau menunggu Abunawas bertapa. Sementara kedua cecak itusudah mulai berlalu dari langit-langit kamar.

            “Bagaimana, Abu? Apa sudah kau ketahui isi pembicaraan mereka?” tanya Baginda penasaran ketika Abunawas bangkit dari bertapanya.

            Pura-pura sedih, Abunawas menjawab, “Paduka, saya masih belum bisa menerjemahkan percakapan mereka. Tapi saya sudah mencatat apa yang mereka katakan.”  Baginda melihat secarik kertas di tangan Abunawas. Di kertas itu tertullis: ck, ck, ck, krik, ck, ck, ck, krik, ck.

            “Apa ini, Abunawas? Jangan kaubodohi aku, ya!” gertak Baginda.

            “Paduka, inilah bunyi yang mereka keluarkan. Saya berjanji akan menerjemahkannya. Tapi ada syaratnya,” kata Abunawas.

            “Apa syaratnya? Cepat katakan!”

            “Untuk mengetahui arti pembicaraan mereka, saya harus tinggal di kamar Baginda selama tiga hari tiga malam. Tidak boleh diganggu. Persediaan makanan dan minuman harus disiapkan di dalam kamar.”

            “Syarat apa itu? Siapa yang menyuruh?”

            “Saya juga tidak tahu siapa yang menyuruh. Tapi itulah wangsit yang saya terima ketika bertapa. Baginda ingin mengetahui isi pembicaraan cecak atau tidak, sih, kok sekarang memarahi saya. Katanya disuruh menerjemahkan pembicaraan mereka.”

            Dengan perasaan dongkol Baginda mengabulkan permintaan Abunawas.

            Selama tiga hari tiga malam di kamar Baginda, Abunawas hanya tidur-tiduran dan makan. Sekarang santai di kamar raja, besok hadiah sekantung uang akan kudapatkan, demikian pikir Abunawas.

            Keesokan harinya, Abunawas keluar kamar. Baginda dan seluruh perdana menteri tidak sabar lagi ingin mendengar hasilnya.

            “Bagaimana, Abu?” tanya Baginda serius.   

            “Paduka benar-benar ingin mengetahui isi pembicaraan kedua ekor cecak itu? Apakah Paduka sudah siap?”

            “Cepat katakan apa yang dibicarakan cecak-cecak itu!” Baginda mulai marah.

            “Baik, Paduka. Asal Paduka berjanji tidak akan marah mendengarnya.” Abunawas mengambil napas diikuti pandangan Baginda yang tidak sabar itu. “Begini, Paduka. Kedua cecak itu sebenarnya mengatakan kalau Paduka itu raja yang bodoh. Paduka kalah dibandingkan Raja Sulaeman yang bisa memahami bahasa semua binatang di bumi. Mereka juga mengejek Paduka yang menyuruh hamba memecahkan masalah ini.”

            “Apa? Kurang asem sekali kamu, Abu, mengatai aku seperti itu!” Baginda bangkit dari duduknya dan mencak-mencak.

            “Lho, lho. Paduka, kok, marah sama saya. Saya kan, hanya menyampaikan apa yang dikatakan kedua cecak itu. Lagi pula Paduka sendiri yang menginginkannya,” elak Abunawas.

            Baginda manggut-manggut. “Iya, ya, aku sendiri yang ingin mengetahui percakapan mereka. Tapi… apa betul yang dikatakan kedua cecak itu? Jangan-jangan itu cuma akal-akalanmu saja.”

            “Ya, sudah, kalau tak percaya. Paduka tanya sendiri saja pada kedua cecak itu,” balas Abunawas.

            “Bagaimana caranya?” Baginda penasaran.

            “Paduka harus menunggu kedua cecak itu keluar lagi. Paduka juga harus bertapa semalaman seperti saya dan mencatat bunyi cecak itu. Kalau sudah, Paduka harus tinggal di dalam kamar tiga hari tiga malam tanpa diganggu. Jika Paduka sungguh-sungguh, maka Paduka bisa mengartikan bahasa cecak itu,” jawab Abunawas sopan.

            Baginda masygul. Tentu saja hal itu mustahil. Biar pun bertapa bertahun-tahun, tentu tak seorang pun bisa mengerti bahasa binatang. Para perdana menteri mulai gelisah, khawatir Baginda bertambah marah.

            Ternyata, Baginda menyadari kebodohannya sendiri dan melemparkan sekantung uang ke arah Abunawas dengan gemas.***




* Cerita ini pernah dimuat di Majalah Mentari nomor 186, tahun 2003

2 komentar

Abunawas termasuk cerita berseri di Mentari. Isinya memang harus lucu dan menghibur.


EmoticonEmoticon