Kamis, 14 April 2016

Mangkuk Pemberian Pendeta

Tags

            
 
Sepasang kakek nenek yang miskin tinggal di gubuk reyot di tepi desa. Meskipun hidup berkekurangan, mereka selalu ringan tangan terhadap siapa saja yang membutuhkan pertolongan.
            Suatu sore, hujan turun sangat deras. Nenek tua merasa was-was, takut gubuknya roboh diterjang angin. Tapi, si Kakek selalu menghiburnya.
            Tok! Tok! Tok!
            Kakek membukakan pintu. Di depannya berdiri seorang pendeta yang menggigil kedinginan. Pendeta itu sedang melakukan perjalanan menuju kuil suci di seberang gunung. Ia mencari tempat untuk berteduh.
            Kakek mempersilakan Pendeta untuk masuk dan mengajaknya duduk di dekat perapian agar tubuhnya hangat. Sementara Nenek menjerang air untuk menyeduh teh dan menghidangkan bubur beras.
            Walaupun hanya itu yang bisa dilakukan Kakek dan Nenek, Pendeta merasa senang. Kakek dan Nenek melayaninya dengan baik dan tulus hati.
            Ketika hujan sudah reda, sang Pendeta berpamitan. "Kakek, Nenek, kalian telah menerimaku dengan baik. Sebagai ucapan terima kasih, ambillah mangkuk kecil ini. mangkuk ini bisa memberikan apa saja yang kalian minta. Namun ingatlah! Mangkuk ini hanya bisa mengabulkan tiga kali permintaan dalam sehari. Mudah-mudahan hidup kalian menjadi lebih baik lagi."
            Kakek Tua menerima mangkuk itu. Mereka mencoba meminta sesuatu kepada mangkuk itu.
            "Hai, mangkuk kecil. Berilah kami makanan karena kami selalu kesulitan mendapatkan makanan," pinta Kakek. Tiba-tiba mangkuk itu telah dipenuhi nasi dan lauknya. Kakek dan Nenek segera menyantapnya. Mereka tidak minta apa-apa lagi. Makanan semangkuk kecil itu sudah cukup bagi mereka berdua.
            Kakek dan Nenek tidak pernah meminta uang atau barang berharga kepada mangkuk itu. Mereka hanya minta makanan, sehari tiga kali. Mereka bersyukur karena bisa makan cukup. Mereka tetap hidup seperti biasanya. Tapi sayang, Nan Tien, tetangga yang jahat, mengetahui keajaiban mangkuk itu.
            Nan Tien meminta mangkuk itu dengan paksa. Meski Nenek mempertahankannya, ia kalah kuat dengan tangan Nan Tien yang sudah merebut mangkuk itu. Kakek dan Nenek pun melepaskan mangkuk itu.
            "Biarlah, Nek. Mungkin Nan Tien juga ingin mencicipi makanan buatan mangkuk itu," hibur Kakek kepada istrinya.
            "Tapi, mangkuk itu pemberian Pendeta bagi kita, Kek. Aku takut jika Nan Tien berbuat sesuatu yang jahat dengan mangkuk itu. Dia sangat serakah dan tamak," Nenek terisak-isak.
            "Sudahlah, Nek. Kita berdoa saja, semoga mangkuk itu segera dikembalikan kepada kita."
            Dugaan Nenek benar juga. Nan Tien ingin memuaskan sifatnya yang serakah.
"Mumpung ada mangkuk ini, aku akan meminta perhiasan yang mahal-mahal," pikir Nan Tien. Ia pun meminta perhiasan. Dalam sekejab, mangkuk itu telah dipenuhi perhiasan. Nan Tien tertawa senang.
            "Sekarang aku minta uang emas!" seru Nan Tien. Mangkuk pun dipenuhi dengan uang emas. Nan Tien bangga sekali. Ia pasti akan cepat kaya dengan adanya mangkuk ini. Ia memanggil teman-temannya dan memamerkan perhiasan, uang emas, serta mangkuk itu kepada mereka. Teman-teman Nan Tien terheran-heran tidak percaya.
            "Kalau memang mangkuk itu bisa mengabulkan apa pun permintaan kita, suruhlah menyediakan mi ayam bagi kami. Saat ini kami lapar sekali," kata salah seorang temannya. Ia membayangkan betapa enaknya makan mi ayam panas di hari yang mendung ini.
             


             Nan Tien meminta mi ayam. Tapi hanya semangkuk mi ayam yang tersedia. Tidak cukup bagi semua temannya. Nan Tien meminta lagi tetapi mangkuk itu tidak mengeluarkan apa pun. Nan Tien menjadi marah. Ia tidak tahu kalau mangkuk itu hanya bisa mengabulkan tiga permintaan dalam sehari. Dan mangkuk itu telah memenuhi tiga permintaan Nan Tien.
            "Hei, mangkuk jelek! Cepat berikan kami mi ayam dengan kuah panas sebanyak-banyaknya!" seru Nan Tien sambil mengumpati mangkuk itu.
            Tiba-tiba, mangkuk itu bergetar dan mengeluarkan mi ayam panas sebanyak-banyaknya sampai meluap ke atas meja. Semakin lama semakin banyak dan memenuhi lantai rumah Nan Tien. Teman-teman Nan Tien berlarian meninggalkan rumah itu.
            Nan Tien berteriak-teriak menyuruh mangkuk itu supaya berhenti, namun sia-sia. Mangkuk itu tetap mengeluarkan mi ayam panas sampai memenuhi rumah Nan Tien. Genangan mi ayam semakin lama semakin tinggi dan menutupi tubuh Nan Tien. Akhirnya Nan Tien terkubur oleh mi ayam panas dan mati akibat keserakahannya.
           Esok harinya, Nenek berseru gembira karena mendapati mangkuk pemberian Pendeta ada di atas meja makannya. Seperti biasanya, Kakek dan Nenek hanya meminta makanan tiga kali dalam sehari. Walaupun seluruh penduduk desa telah mengetahui keajaiban mangkuk itu, tak seorang pun yang berani mengambilnya. Mereka takut kejadian yang dialami Nan Tien akan terulang kembali. ***





* Cerita ini pernah dimuat di Majalah Mentari nomor 169, tahun 2003.




This Is The Oldest Page

3 komentar

Ceritanya bagus dan menarik.

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.


EmoticonEmoticon