Kamis, 05 Mei 2016

Layang-Layang Terakhir

Tags

Namanya Syaiful, tapi biasa dipanggil Ipul. Di desa Sawohan ini, Ipul terkenal jago mengejar layangan putus. Setiap ada layangan putus, dia melesat lebih cepat dari teman-temannya. Padahal, jika ditilik dari tubuhnya, dia kalah dibanding Joko dan Candra yang tinggi besar. Sedangkan dia kecil dan nyaris kurus. Meskipun begitu, dia sigap dan cekatan. Mungkin karena suka minum susu dan makan sayur.

Seperti biasa, sore itu Ipul bergerombol bersama anak-anak sekampungnya di lapangan desa. Mereka asyik menikmati air tebu sambil menonton anak-anak lain yang bermain layang-layang.

"Taruhan, pasti layangan biru itu putus kena yang putih," kata Hardi menunjuk layang-layang yang dimaksud.

"Benar juga," gumam Joko. "Siap-siap, nih!"

Sambil menggigit tebu, Ipul ikut melirik layangan yang dimaksud Hardi. Benar juga. Tali layangan biru putus disambar layangan putih. "Putus! Putus! Layangan putus!" beberapa anak berseru menggugah perhatian anak-anak di lapangan itu.

Ipul dan teman-temannya sontak berhamburan. Tebu yang belum habis dimakan, dilemparkan begitu saja ke rerumputan. Mereka mulai sibuk mengarahkan perhatian ke layangan yang putus itu.

Joko berlari paling depan. Sebab, dia sudah ambil ancang-ancang sedari tadi. Ia merasa yakin bakal dapat mengalahkan Ipul kali ini. Ditolehnya ke belakang. Ipul masih tampak jauh darinya.

Tiba-tiba angin berubah arah. Layangan biru yang semula hampir didekatinya, tersentak ke atas dan berputar mengikuti arah angin ke samping.


Kini giliran Ipul yang tersenyum. Layang-layang itu terbang ke arahnya. Ipul mempercepat larinya mendahului yang lain.

Eh, angin berganti haluan lagi. Layang-layang itu bergerak jauh menuju kompleks elit di Desa Sawohan. Meskipun begitu, anak-anak tetap bernafsu mengejarnya. Begitu juga Ipul. Ia merasa tertantang karena layangan itu seperti menggodanya. Naik, turun, dan melesat tak keruan.

Kini Ipul berada jauh di depan teman-temannya. Ia bisa sedikit leluasa berlari. Dilihatnya layangan itu menukik menuju pohon mangga di pekarangan salah satu rumah di kompleks itu. Sret! Layangan biru tersangkut pada salah satu dahan pohon mangga.

Ipul menengok kiri kanan. Sepi. Di mana teman-temannya? Mereka belum tampak batang hidungnya. Ipul ingin mengambil layangan itu. Jika tidak membawa hasil buruan pasti akan ditertawakan teman-temannya.

"Hei, pagar rumah ini tidak terkunci," pikir Ipul. "Sebaiknya aku masuk saja." Ipul membuka sedikit pintu pagar itu dan memasuki pekarangan rumah orang tanpa seizin yang punya.

Guk! Guk! Guk!

Ipul tersentak. Anjing? Wah, dari mana datangnya, kok, tiba-tiba sudah ada dua ekor anjing herder di depannya. Ipul ketakutan. Tapi tak tahu, harus berbuat apa. Saking takutnya melihat anjing sebesar tubuh orang dewasa, Ipul sampai terkencing-kencing. Celana pendek yang dipakainya basah kuyup. Seekor anjing bergerak mendekatinya. Ipul segera melompat dan memanjat pohon mangga di mana layangan biru itu tergantung.

Anjing-anjing itu semakin keras menyalak di bawah pohon. Ipul berpegangan erat pada dahan pohon. Napasnya tersengal-sengal dan jantungnya serasa mau copot.

"Boris! Doris! Kemari!" Sebuah suara terdengar lantang. Kedua anjing itu berhenti menyalak dan berlari ke arah pria tambun di depan pintu rumah megah itu. Pasti dia si pemilik rumah. Tenggorokan Ipul tercekat. Dia khawatir pria itu marah. Wah, bisa runyam nanti. Bapak dan ibunya pasti kaget dan marah besar kepadanya.

Pria gendut itu berjalan menuju tempat Ipul. Dia mendongakkan kepalanya, mencari-cari sesuatu. Lantas tersenyum ke arah Ipul. Ipul menahan napasnya.
"Kau mau mengambil layangan itu, ya?" sapa pria tersebut. Mendengar suara yang ramah, Ipul menarik napas lega.
"Ya, Om."

Pria itu tertawa. "Ambillah!"
Ipul menurut. Layangan itu ditariknya perlahan lalu ia merosot turun dari pohon. Diliriknya kedua anjing herder itu. Keduanya hanya menatapnya sambil menjulurkan lidah.

"Wah, asyik juga, ya, berlarian mengejar layangan putus. Dulu, Om juga seperti kamu waktu masih kecil," pria itu mulai bercerita.
"Betul, Om?" Ipul seakan tak percaya.

Pria itu mengangguk. "Tapi, Om tidak pernah memasuki halaman rumah orang tanpa permisi. Nanti bisa dikira pencuri." Ipul menunduk disindir begitu.

"Om sangat tergila-gila jika ada layangan putus. Ke mana pun pasti Om kejar. Sampai akhirnya Om terjatuh dari pohon dan perut Om robek terkena ujung dahan yang tajam."

"Lalu, Om, bagaimana selanjutnya?" Ipul penasaran.

Pria itu tertawa lagi. Ia mengangkat sedikit kaos yang dipakainya. Tampak ada bekas jahitan di dekat pusarnya.

Ipul terdiam. Ia membayangkan, bagaimana seandainya ia mengalami nasib serupa dengan pria itu. Atau, digigit anjing-anjing tadi. Hiii .... !

"Hei, kok, melamun," tegur pria itu.
Ipul terkejut. "Sudahlah, cepat pulang sana. Ibumu pasti mencarimu."

Ipul mengangguk dan berpamitan setelah mengucapkan maaf dan terima kasih.
"Lain kali hati-hati jika mengejar layangan putus, ya," nasihat pria itu. Ipul tersenyum.

Ipul pulang membawa layangan biru hasil tangkapannya. Layangan itu akan dipamerkannya kepada teman-temannya. Tetapi dalam hati Ipul berjanji. Layangan biru ini adalah layangan terakhir yang pernah diburunya. ***





* Cerita ini pernah dimuat di Majalah Mentari nomor 192










4 komentar

Cerita layang layang terakhir sungguh nikmat dibaca,pesan moralnya pun jelas.
Terima kasih sobat.
Terus berkarya ya.

Terima kasih sudah menyukai cerita ini. Semoga bermanfaat, ya.


EmoticonEmoticon