Minggu, 08 Oktober 2017

JATUH HATI PADA BUKU

Tags

                                                                                                     
                                                                                                                           
  
Kemampuan berliterasi peserta didik tingkat sekolah menengah yang diuji oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD - Organization for Economic Cooperation and Development) dalam PISA (Programme for International Student Assessment) menunjukkan hasil yang jauh dari memuaskan. Meskipun tes itu dilakukan terhadap beberapa peserta didik secara sampel, sudah cukup mewakili kondisi pendidikan di negara ini.

Peserta didik Indonesia menempati peringkat ke-57 pada PISA 2009 dan berada pada peringkat ke-64 pada PISA 2012 dari 65 negara yang berpartisipasi dalam PISA pada tahun 2009 dan 2012. Hasil ini menunjukkan bahwa praktik pendidikan di sekolah belum maksimal menunjukkan fungsinya sebagai organisasi pembelajaran yang menjadikan warga sekolahnya sebagai pembelajar sepanjang hayat. Kondisi demikianlah yang melatarbelakangi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di bidang pendidikan serta pelibatan unsur eksternal dan publik dalam kegiatan GLS.

Sejak didengungkan GLS, sekolah berbondong-bondong menerapkannya. Sepertinya kegiatan itu tidak terlalu rumit untuk dilaksanakan. Sekolah beramai-ramai merelakan waktu 15 menit sebelum jam pelajaran bagi peserta didik untuk membaca sebuah buku. Faktanya, GLS tidak sesederhana yang dibayangkan. Masih banyak peserta didik yang belum menyadari manfaat GLS ini disebabkan oleh kurangnya minat baca mereka. Namun, perlu diketahui bahwa faktor utama yang seharusnya menjadi motor bagi meningkatnya minat baca peserta didik adalah para pendidik itu sendiri.

Pada 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah menyiapkan buku panduan bagi para pendidik di sekolah dasar sebagai rambu-rambu dalam pelaksanaan GLS. Dalam buku panduan tersebut dijelaskan adanya tiga tahap pelaksanaan GLS, yaitu penumbuhan minat baca, meningkatkan kemampuan literasi melalui kegiatan menanggapi buku pengayaan, dan meningkatkan kemampuan literasi di semua mata pelajaran: menggunakan buku pengayaan dan strategi membaca di semua mata pelajaran. Tinggal diperlukan kemauan dan strategi yang jitu oleh para pendidik untuk mengaplikasikannya di dalam kelas guna tercapainya tujuan GLS serta peningkatan mutu sekolah dasar itu sendiri. 

Pilih Bacaan yang Sesuai 

Peserta didik di kelas  rendah memiliki ketertarikan terhadap buku dengan ukuran lebih besar, banyak gambar dengan warna mencolok (picture book), teks sederhana atau tidak ada sama sekali, serta buku yang melibatkan psikomotor mereka seperti buku buka tutup (flip flap book) atau buku sibuk (busy book). Cerita-cerita dengan tokoh-tokoh yang dikenal akrab seperti binatang, tokoh dari film kartun kesukaan, dan tokoh yang dekat dengan keseharian mereka akan menjadi daya tarik yang luar biasa untuk menumbuhkan minat membaca.

Sementara peserta didik di kelas yang lebih tinggi cenderung menyukai buku-buku berisi petualangan, misteri, dan kehidupan sehari-hari yang menarik. Ukuran buku lebih kecil, masih bergambar namun kaya teks (ilustrated book), kalau perlu komik, dan berupa novel baik bentuk cetak maupun digital.

Pendidik harus proaktif mencari dan mengumpulkan buku-buku yang menjadi minat peserta didiknya. Selain itu, para pendidik juga harus menawarkan buku-buku bacaan yang sesuai dengan konten materi pelajaran yang sesuai dengan jenjang kelas peserta didik. 

Hindari Menulis 

Masalah utama yang memengaruhi minat peserta didik untuk membaca adalah enggan disuruh menuliskan kembali isi buku. Membaca saja masih belum minat, mengapa sudah harus menulis? Untuk membuat sebuah tulisan sederhana, sekalipun itu sekadar menceritakan pengalaman yang dilalui peserta didik ketika liburan, bisa menjadi momok yang menakutkan, sebab mereka masih kesulitan menyusun kata-kata untuk mengolah pengalaman pribadi menjadi kalimat yang padu. Kendala demikian seharusnya bisa dihindari dengan lebih banyak membaca terlebih dahulu.

Menumbuhkan minat baca termasuk dalam tahap pembiasaan dalam GLS. Hal ini yang seharusnya menjadi penekanan kegiatan literasi di sekolah. Jika tahap ini sudah terlampaui dengan baik dan anak-anak sudah memiliki minat baca yang lebih tinggi dari sebelumnya, baik terhadap buku fiksi maupun non fiksi, barulah sekolah menuju tahap pengembangan, termasuk menulis.  

Penumbuhan minat baca peserta didik di tahap pembiasaan ini bisa jadi akan berlangsung selama satu semester penuh sampai peserta didik benar-benar jatuh hati pada buku. Sebab melalui buku, peserta didik akan menyimpan banyak kosa kata, berbagai hubungan, dan konsep dalam otaknya. Memang dibutuhkan ekstra kesabaran dalam menumbuhkan minat baca karena itu tidak semudah membalik telapak tangan. Para pendidik seharusnya peka dalam hal ini. Sebab, mencintai buku untuk menumbuhkan minat baca sebenarnya bukan hanya untuk diterapkan kepada peserta didik saja, melainkan para pendidiknya juga. 

Baca Kapan Saja, Di mana Saja 

Apakah waktu 15 menit sebelum jam pelajaran itu mutlak disediakan bagi peserta didik untuk membaca suatu buku? Apakah tidak diperkenankan jika waktu membaca itu dipindahkan ke dalam jam pelajaran?

Membaca bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Di atas tadi sudah dijelaskan bahwa para pendidik sebaiknya menawarkan buku pengayaan dengan  konten yang sesuai dengan  pelajaran peserta didik saat itu. Daripada memisahkan waktu membaca tersendiri, alangkah lebih efisien dan efektif apabila kegiatan membaca itu terintegrasi dengan mata pelajaran yang sedang dipelajari peserta didik.

Sebagai contoh, dalam kelas IV berlangsung pelajaran IPA dengan materi hubungan antarmakhluk hidup (simbiosis). Strategi yang dapat dilakukan adalah mengajak peserta didik  lebih dulu membaca atau dibacakan buku cerita berjudul Hiu dan Remora (atau sejenisnya). Setelah itu peserta didik mendiskusikan isi buku cerita tersebut dan dilanjutkan dengan kegiatan mencari contoh-contoh  simbiosis lainnya. Tentunya pendidik sudah menyediakan beberapa buku atau referensi yang memadai, baik dalam pojok buku di kelas maupun di perpustakaan. Dengan strategi seperti ini, pembelajaran IPA akan terasa lebih hidup dan peserta didik lebih mudah menerima informasi baru karena mereka sendiri terlibat di dalamnya melalui kisah-kisah dari buku pengayaan yang dibaca. 

Kolaborasi Materi Pelajaran 

Buku bisa menjadi bahan kolaborasi di antara masing-masing mata pelajaran. Selama ini para pendidik masih mengeluh dengan padatnya materi pelajaran sehingga mereka merasa selalu kekurangan jam untuk menyelesaikan seluruh materi secara tuntas. Sebenarnya kolaborasi  ini cukup menarik, efektif, dan efisien, juga membuat peserta didik tidak merasakan mengikuti banyak mata pelajaran apabila dikemas pendidik melalui kegiatan yang lebih menyenangkan.

Buku sebagai bahan kolaborasi dalam pembelajaran bisa dipraktikkan dengan contoh materi pelajaran mengenai profesi seseorang. Pendidik menyediakan buku-buku pengayaan mengenai profesi dan peserta didik diberi kesempatan untuk membaca dilanjutkan brainstorming mengenai masing-masing profesi. Selanjutnya, pendidik mengajak peserta didik untuk mempelajari beberapa tata bahasa di dalam buku pengayaan tersebut, misalnya mencari kata dasar dan kata berimbuhan. Kreativitas pendidik diperlukan untuk mengembangkan rasa peduli, ingin tahu, cakap berkomunikasi, dan menumbuhkan kontribusi sosial dengan mengajak peserta didik bermain peran yang menghubungkan beberapa profesi seperti: pemadam kebakaran yang sakit flu lantas berobat ke dokter. Atau bisa juga belajar menghitung berapa pendapatan yang diterima suatu profesi dalam sebulan atau setahun.

Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Sekali kegiatan, peserta didik sudah menyelesaikan beberapa mata pelajaran: IPS, Bahasa Indonesia, Matematika. Bisa jadi lebih banyak mata pelajaran yang akan tercakup di dalamnya apabila pendidik memiliki kreativitas lebih tinggi. Tidak menutup kemungkinan juga buku tentang profesi ini menjadi kolaborasi antarpendidik, misalnya guru kelas dengan guru bahasa Inggris atau guru Seni Budaya dan Prakarya. 

Buku Wajib 

Sekolah-sekolah di luar sana sudah menerapkan buku-buku wajib untuk dibaca dan didiskusikan bersama peserta didiknya di dalam kelas. Sementara masih jarang, atau bisa jadi belum ada di sini, sekolah sebagai organisasi pembelajaran menentukan buku bacaan wajib bagi peserta didik di tiap jenjang kelas.  Kegiatan ini sebenarnya dapat memfasilitasi peserta didik untuk menyampaikan gagasan-gagasan mereka terhadap berbagai hal selain menunjang kegiatan pembelajaran.

Sayangnya ini bukan program kegiatan yang murah, sebab peserta didik wajib memiliki buku mereka sendiri. Jika sekolah berusaha menyediakannya sendiri, tentu membutuhkan dukungan dana yang juga cukup besar.

Tidak ada kata putus asa untuk kemajuan, bukan? Sekolah bisa duduk bersama orang tua dan para pemangku kepentingan untuk membicarakan hal ini di awal tahun pelajaran. Banyak cara bisa dilakukan untuk mendukung penyediaan buku-buku wajib bagi peserta didik. Apakah dari iuran orang tua, sumbangan para pemangku kepentingan, bekerjasama dengan pihak lain, atau dengan mengajak peserta didik menabung pada semester ganjil untuk membeli sebuah buku wajib yang akan digunakan pada semester berikutnya.

Tentu saja pemilihan buku wajib yang akan digunakan sudah harus dipertimbangkan masak-masak, baik dari segi format buku, jenis dan ukuran huruf yang digunakan, konten, dan ilustrasi buku. Pertimbangan-pertimbangan ini seyogyanya mengacu pada tahap perkembangan peserta didik dan juga kebutuhan mendasar bangsa. 

Buku sebagai Hadiah 

Banyak kegiatan sekolah yang memberikan reward atau hadiah pada warga sekolahnya berupa barang-barang selain buku bacaan. Ini bisa diubah menjadi sebuah strategi untuk menumbuhkan minat baca warga sekolah pada umumnya dan peserta didik pada khususnya dengan menggunakan buku sebagai hadiah.

Pemberian hadiah sebuah buku akan lebih bermanfaat dan tidak sia-sia apabila disesuaikan dengan si calon penerima hadiah. Bagaimana karakternya, apa yang menjadi minatnya, dan apa yang sedang disukainya. Hadiah buku ini tentu akan meningkatkan keterampilan dan rasa percaya diri penerima hadiah.

Masih ada puluhan, ratusan bahkan ribuan strategi di luar sana yang dapat dicobakan untuk menumbuhkan minat baca pada warga sekolah. Dibutuhkan kemauan dan dukungan berbagai pihak dalam pelaksanaannya. Mutu pendidikan dasar di negara ini bergantung penuh pada sekolah-sekolah dasar yang menjadi pondasi utama jenjang pendidikan selanjutnya. Pembelajaran tidak akan berhasil tanpa membaca, membaca tidak akan sempurna tanpa jatuh hati dan mencintai buku lebih dahulu.***


Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Menulis Artikel Ilmiah Populer Sekolah Dasar 2017 oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar,  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (http://ditpsd.kemdikbud.go.id/)




EmoticonEmoticon