Sabtu, 04 November 2017

Bajul dan Cerek

Tags

Tidip, tik, tik.

Tidip, tik, tik.


Cerek si burung prover terbang mengitari pepohonan bakau. Dia mencari tempat hinggap. Aha, di sana ada tempat!

“Jangan mencari tempat terlalu rendah, Cerek,” teriak Kukun si burung kuntul.

Cerek menoleh. Dia hinggap di samping Kukun. “Memangnya kenapa, Kun?”

“Di sana tinggal Bajul, raja muara yang ganas.”

                                                               Gambar: BE. Priyanti


Sebenarnya, Cerek lebih suka tidur di dekat rawa. Lebih adem. Tapi, didengarnya juga nasihat Kukun. Dia pun mencari dahan yang lebih tinggi agar aman.

Paginya, Cerek turun ke rawa-rawa. Perutnya keroncongan. Saatnya mencari makan.

Air di rawa-rawa itu memantulkan bayangannya. Tubuhnya kecil dan paruhnya hitam pendek. Bulu-bulu di kepalanya berwarna coklat putih. Cerek tersenyum sendiri. Cukup tampan juga aku, pikirnya geli.

“Hei, Cerek! Jangan di situuu!” teriakan Kukun mengejutkannya.

“Apa lagi, sih, Kun?” protes Cerek.

Kukun terbang mendekat. “Waspadalah!  Si Bajul biasa berkubang di sini.”

Bajul lagi, Bajul lagi.  Seberapa ganas, sih, buaya muara itu? Cerek mengangkat bahunya. Dia pun bergeser ke tempat lain. Kukun terbang menjauh.

Nah, tampaknya di sini banyak makanan, batin Cerek girang. Ikan-ikan kecil berseliweran di antara lumpur.

Cetuk, cetuk! Cerek mulai mematuki makanannya. Tiba-tiba…

“Aduh… aduh…” terdengar suara erangan berat. 

Cerek mendongakkan kepala. Tak jauh dari tempatnya berdiri, tampak Bajul, si raja muara, buaya yang terkenal ganas. Kaki Cerek langsung gemetaran.

Bagaimana ini? Batin Cerek cemas. Kakinya gemetaran, tidak sanggup terbang.

“Aduh…,” Bajul mengerang lagi. Kelihatannya, dia kesakitan sekali.

“Kamu… kamu kenapa, Jul?” Cerek memberanikan diri bertanya.

“Ini, lho, gigiku… sakit sekali… aduh….”

Cerek menjadi iba. Kasihan si Bajul. Tapi, bagaimana dia harus menolongnya? Dia , kan, hanya seekor burung kecil.

“Cerek, tolong aku… aduh…,” Bajul memohon sambil terus mengerang kesakitan.

Cerek bingung. Tapi kemudian, diberanikan dirinya untuk mendekat. “Coba buka mulutmu, Jul.”

Bajul membuka mulutnya. Astaga! Cerek terkejut. Gigi Bajul kotor sekali. Di sana banyak terselip sisa-sisa makanan. Pasti si Bajul tidak pernah gosok gigi. Menjijikkan sekali!

Cerek berpikir keras. Bisa saja, sih, dia membantu membersihkan gigi si Bajul. Tapi, bagaimana dengan keselamatan dirinya? Jangan-jangan, nanti malah dijadikan santapan Bajul.

Sepertinya, Bajul mengetahui keraguan Cerek. “Tenang, Cerek. Aku tidak akan memakanmu. Lagi pula, gigiku sedang sakit. Tidak bisa makan.”

“Benar? Janji?”  selidik Cerek. Bajul mengangguk. Dia kelihatan jujur.

Dengan takut-takut, Cerek menghampiri mulut Bajul yang menganga lebar. Kepala Cerek dimasukkan ke dalamnya. Dalam hati, Cerek khawatir kalau tiba-tiba Bajul mengatupkan mulutnya. Tamatlah riwayatnya nanti.

Tapi, yang dicemaskan Cerek tidak terjadi. Cerek dengan bebas mematuki sisa-sisa makanan itu. Lumayan, perutnya menjadi kenyang.

“Huah, perutku sudah penuh, Jul,” ujar Cerek menunjukkan perutnya yang membulat. “Besok lagi kita lanjutkan, ya.”

Bajul mengangguk. Rasa sakit di giginya mulai berkurang. “Terima kasih, ya, Cerek.” Lalu, bajul kembali menyelam.

Keesokan harinya, mereka bertemu kembali. Seperti kemarin, Cerek mematuki sisa-sisa makanan di sela-sela gigi si Bajul. Sekarang, gigi Bajul sudah bersih.

“Hore! Sakit gigiku sudah sembuh!” sorak si Bajul kegirangan. “Cerek, bagaimana kalau kita berteman? Kamu bantu aku membersihkan gigiku. Jadi, kamu tidak perlu susah-susah mencari makanan lagi.”

Cerek setuju. Tapi, dia juga ingin sesekali mencari makanan yang lain. Bukan hanya sisa-sisa makanan Bajul yang terselip di giginya. Bajul juga setuju. Sejak saat itu, sesekali mereka bertemu. Bajul menepati janjinya tidak memangsa Cerek.

“Cerek…!” seru Kukun suatu pagi. “Jangan ke situ…! Nanti ketemu si Bajul, lho!”

Cerek tertawa. Bajul? Siapa takut? Bukankah mereka sekarang bersahabat? Cerek terbang semakin dekat ke rawa. Kukun ternganga melihat Cerek dan Bajul bersenda gurau bersama.***





Fabel ini saya buat, awalnya untuk dikirim ke sebuah media. Idenya  dari pelajaran IPA SD mengenai hubungan antara dua makhluk hidup yang sama-sama tidak merugikan. 
Kebetulan PAUD Kemdikbud mengadakan lomba e-book. Maka cerita ini mengalami perubahan bentuk menjadi pictured book dengan teks yang lebih sederhana, sangat sederhana bahkan. Iya, dong. Kan, bakalan ditujukan untuk anak-anak PAUD. E-book-nya saya ilustrasi sendiri. Ini juga ilustrasi yang sederhana dan manual pakai media cat air saja. Sayangnya, karya saya ini belum berhasil dalam lomba tersebut.

Sedihnya tidak lama-lama, ya, ada telepon mengabarkan berita gembira. E-book saya dibeli oleh PAUD, katanya masih sesuai dengan materi PAUD. Asyiiik. Rezeki tidak ke mana. Saya sujud syukur. Ini bukan karya saya sendiri. Ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Sayangnya, saya tunggu lama, e-book ini tidak nongol-nongol juga di laman PAUD. Mungkin peserta lomba ini yang menang juga sedang galau menunggu karyanya muncul di sana ;)

Oh, ya, sebelum mendapat telepon dari PAUD, saya mengunggah e-book ini ke Storyweaver. Itu, lho, laman dari India, yang menerima tulisan-tulisan untuk dibaca gratis oleh anak-anak sedunia. Tentunya ini saya buat dalam versi inggris yang juga sangat sederhana. Kalau mau baca boleh buka link ini  , jangan lupa kasih tanda hati, ya ;)
PAUD tidak mempermasalahkan, sebab yang mereka beli adalah cerita yang dalam versi Bahasa Indonesia. Sujud syukur lagi, deh.

Satu lagi. Cerita ini juga saya konversi ke dalam Basa Jawa. Dimuat di Majalah Panjebar Semangat. Uhuiii. Tiga bahasa. Sampai-sampai, seorang teman dekat saya, Maharani Aulia, melontarkan guyonan, "Wis, Mbak. Ndang dipatenkan kabeh karyamu iki"  
Satu cerita dalam tiga bahasa, mengapa tidak?  


This Is The Newest Post

3 komentar

Mbak Eniiiii 😍😍😍 ceritanya lucuuu. Bagus banget 👍👍

Sayang ya di website StoryWeaver nggak ada kolom komentar. Padahal pengen kasih pujian


EmoticonEmoticon