Tidip, tik, tik.
Tidip, tik, tik.
Cerek
si burung prover terbang mengitari pepohonan bakau. Dia mencari tempat hinggap.
Aha, di sana ada tempat!
“Jangan
mencari tempat terlalu rendah, Cerek,” teriak Kukun si burung kuntul.
Cerek
menoleh. Dia hinggap di samping Kukun. “Memangnya kenapa, Kun?”
“Di
sana tinggal Bajul, raja muara yang ganas.”
Gambar: BE. Priyanti
Sebenarnya,
Cerek lebih suka tidur di dekat rawa. Lebih adem. Tapi, didengarnya juga
nasihat Kukun. Dia pun mencari dahan yang lebih tinggi agar aman.
Paginya,
Cerek turun ke rawa-rawa. Perutnya keroncongan. Saatnya mencari makan.
Air
di rawa-rawa itu memantulkan bayangannya. Tubuhnya kecil dan paruhnya hitam
pendek. Bulu-bulu di kepalanya berwarna coklat putih. Cerek tersenyum sendiri.
Cukup tampan juga aku, pikirnya geli.
“Hei,
Cerek! Jangan di situuu!” teriakan Kukun mengejutkannya.
“Apa
lagi, sih, Kun?” protes Cerek.
Kukun
terbang mendekat. “Waspadalah! Si Bajul
biasa berkubang di sini.”
Bajul
lagi, Bajul lagi. Seberapa ganas, sih, buaya
muara itu? Cerek mengangkat bahunya. Dia pun bergeser ke tempat lain. Kukun
terbang menjauh.
Nah,
tampaknya di sini banyak makanan, batin Cerek girang. Ikan-ikan kecil
berseliweran di antara lumpur.
Cetuk,
cetuk! Cerek mulai mematuki makanannya. Tiba-tiba…
“Aduh…
aduh…” terdengar suara erangan berat.
Cerek
mendongakkan kepala. Tak jauh dari tempatnya berdiri, tampak Bajul, si raja
muara, buaya yang terkenal ganas. Kaki Cerek langsung gemetaran.
Bagaimana
ini? Batin Cerek cemas. Kakinya gemetaran, tidak sanggup terbang.
“Aduh…,”
Bajul mengerang lagi. Kelihatannya, dia kesakitan sekali.
“Kamu…
kamu kenapa, Jul?” Cerek memberanikan diri bertanya.
“Ini,
lho, gigiku… sakit sekali… aduh….”
Cerek
menjadi iba. Kasihan si Bajul. Tapi, bagaimana dia harus menolongnya? Dia ,
kan, hanya seekor burung kecil.
“Cerek,
tolong aku… aduh…,” Bajul memohon sambil terus mengerang kesakitan.
Cerek
bingung. Tapi kemudian, diberanikan dirinya untuk mendekat. “Coba buka mulutmu,
Jul.”
Bajul
membuka mulutnya. Astaga! Cerek terkejut. Gigi Bajul kotor sekali. Di sana
banyak terselip sisa-sisa makanan. Pasti si Bajul tidak pernah gosok gigi.
Menjijikkan sekali!
Cerek
berpikir keras. Bisa saja, sih, dia membantu membersihkan gigi si Bajul. Tapi,
bagaimana dengan keselamatan dirinya? Jangan-jangan, nanti malah dijadikan
santapan Bajul.
Sepertinya,
Bajul mengetahui keraguan Cerek. “Tenang, Cerek. Aku tidak akan memakanmu. Lagi
pula, gigiku sedang sakit. Tidak bisa makan.”
“Benar?
Janji?” selidik Cerek. Bajul mengangguk.
Dia kelihatan jujur.
Dengan
takut-takut, Cerek menghampiri mulut Bajul yang menganga lebar. Kepala Cerek
dimasukkan ke dalamnya. Dalam hati, Cerek khawatir kalau tiba-tiba Bajul
mengatupkan mulutnya. Tamatlah riwayatnya nanti.
Tapi,
yang dicemaskan Cerek tidak terjadi. Cerek dengan bebas mematuki sisa-sisa
makanan itu. Lumayan, perutnya menjadi kenyang.
“Huah,
perutku sudah penuh, Jul,” ujar Cerek menunjukkan perutnya yang membulat.
“Besok lagi kita lanjutkan, ya.”
Bajul
mengangguk. Rasa sakit di giginya mulai berkurang. “Terima kasih, ya, Cerek.”
Lalu, bajul kembali menyelam.
Keesokan
harinya, mereka bertemu kembali. Seperti kemarin, Cerek mematuki sisa-sisa
makanan di sela-sela gigi si Bajul. Sekarang, gigi Bajul sudah bersih.
“Hore!
Sakit gigiku sudah sembuh!” sorak si Bajul kegirangan. “Cerek, bagaimana kalau
kita berteman? Kamu bantu aku membersihkan gigiku. Jadi, kamu tidak perlu
susah-susah mencari makanan lagi.”
Cerek
setuju. Tapi, dia juga ingin sesekali mencari makanan yang lain. Bukan hanya
sisa-sisa makanan Bajul yang terselip di giginya. Bajul juga setuju. Sejak saat
itu, sesekali mereka bertemu. Bajul menepati janjinya tidak memangsa Cerek.
“Cerek…!”
seru Kukun suatu pagi. “Jangan ke situ…! Nanti ketemu si Bajul, lho!”
Cerek
tertawa. Bajul? Siapa takut? Bukankah mereka sekarang bersahabat? Cerek terbang
semakin dekat ke rawa. Kukun ternganga melihat Cerek dan Bajul bersenda gurau bersama.***
Fabel ini saya buat, awalnya untuk dikirim ke sebuah media. Idenya dari pelajaran IPA SD mengenai hubungan antara dua makhluk hidup yang sama-sama tidak merugikan.
Kebetulan PAUD Kemdikbud mengadakan lomba e-book. Maka cerita ini mengalami perubahan bentuk menjadi pictured book dengan teks yang lebih sederhana, sangat sederhana bahkan. Iya, dong. Kan, bakalan ditujukan untuk anak-anak PAUD. E-book-nya saya ilustrasi sendiri. Ini juga ilustrasi yang sederhana dan manual pakai media cat air saja. Sayangnya, karya saya ini belum berhasil dalam lomba tersebut.
Sedihnya tidak lama-lama, ya, ada telepon mengabarkan berita gembira. E-book saya dibeli oleh PAUD, katanya masih sesuai dengan materi PAUD. Asyiiik. Rezeki tidak ke mana. Saya sujud syukur. Ini bukan karya saya sendiri. Ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Sayangnya, saya tunggu lama, e-book ini tidak nongol-nongol juga di laman PAUD. Mungkin peserta lomba ini yang menang juga sedang galau menunggu karyanya muncul di sana ;)
Oh, ya, sebelum mendapat telepon dari PAUD, saya mengunggah e-book ini ke Storyweaver. Itu, lho, laman dari India, yang menerima tulisan-tulisan untuk dibaca gratis oleh anak-anak sedunia. Tentunya ini saya buat dalam versi inggris yang juga sangat sederhana. Kalau mau baca boleh buka link ini , jangan lupa kasih tanda hati, ya ;)
PAUD tidak mempermasalahkan, sebab yang mereka beli adalah cerita yang dalam versi Bahasa Indonesia. Sujud syukur lagi, deh.
Satu lagi. Cerita ini juga saya konversi ke dalam Basa Jawa. Dimuat di Majalah Panjebar Semangat. Uhuiii. Tiga bahasa. Sampai-sampai, seorang teman dekat saya, Maharani Aulia, melontarkan guyonan, "Wis, Mbak. Ndang dipatenkan kabeh karyamu iki"
Satu cerita dalam tiga bahasa, mengapa tidak?