Baginda Harun Al-Rasyid
menatap lekat dua ekor cecak di atas langit-langit kamarnya.Tampaknya kedua
cecak itu sedang bercengkerama. Mereka menimbulkan bunyi-bunyian tak jelas. Ck,
ck, ck, begitulah bunyinya.
Sesekali
kedua cecak itu menoleh seolah-olah melihat ke arah Baginda yang rebahan di
atas ranjangnya. Karena merasa dilihat oleh kedua cecak itu, ia beranggapan
kalau kedua cecak itu pasti sedang membicarakan dirinya. Tapi, apa yang mereka
bicarakan? Baginda tak tahu karena ia bukan seekor cecak.
Saking penasarannya,
Baginda menyuruh pengawalnya untuk cepat-cepat memanggil Abunawas. Ya, siapa
lagi di kerajaan ini yang cerdik seperti Abunawas. Tentu Abunawas bisa
meredakan kegelisahan hati Baginda yang khawatir dirasani oleh cecak.
Dengan
tergopoh-gopoh, Abunawas berangkat menghadap raja sambil bergumam sendiri, “Ada apa lagi Paduka
memanggil pada malam begini? Pasti Baginda akan memberiku perintah yang
aneh-aneh.”
Betul
juga dugaan Abunawas. Baginda menyuruhnya menerjemahkan bahasa kedua cecak itu
dan mengartikannya. Wah, sungguh tak masuk di akal. Bagaimana bisa Abunawas
memahami bahasa kedua ekor cecak itu?
Mustahil rasanya. Tapi karena diancam akan dijebloskan ke dalam penjara jika
tak bisa mengartikannya, Abunawas mulai memutar otak.
“Paduka,
bahasa cecak ini agak sulit diterjemahkan,” akhirnya Abunawas angkat bicara. “Jika
diperkenankan, saya harus bertapa semalaman di kamar Paduka.”
Baginda
menyetujui. Semalaman beliau menunggu Abunawas bertapa. Sementara kedua cecak
itusudah mulai berlalu dari langit-langit kamar.
“Bagaimana,
Abu? Apa sudah kau ketahui isi pembicaraan mereka?” tanya Baginda penasaran
ketika Abunawas bangkit dari bertapanya.
Pura-pura
sedih, Abunawas menjawab, “Paduka, saya masih belum bisa menerjemahkan
percakapan mereka. Tapi saya sudah mencatat apa yang mereka katakan.” Baginda melihat secarik kertas di tangan
Abunawas. Di kertas itu tertullis: ck, ck, ck, krik, ck, ck, ck, krik, ck.
“Apa
ini, Abunawas? Jangan kaubodohi aku, ya!” gertak Baginda.
“Paduka,
inilah bunyi yang mereka keluarkan. Saya berjanji akan menerjemahkannya. Tapi
ada syaratnya,” kata Abunawas.
“Apa
syaratnya? Cepat katakan!”
“Untuk
mengetahui arti pembicaraan mereka, saya harus tinggal di kamar Baginda selama
tiga hari tiga malam. Tidak boleh diganggu. Persediaan makanan dan minuman
harus disiapkan di dalam kamar.”
“Syarat
apa itu? Siapa yang menyuruh?”
“Saya
juga tidak tahu siapa yang menyuruh. Tapi itulah wangsit yang saya terima
ketika bertapa. Baginda ingin mengetahui isi pembicaraan cecak atau tidak, sih,
kok sekarang memarahi saya. Katanya disuruh menerjemahkan pembicaraan mereka.”
Dengan
perasaan dongkol Baginda mengabulkan permintaan Abunawas.
Selama
tiga hari tiga malam di kamar Baginda, Abunawas hanya tidur-tiduran dan makan.
Sekarang santai di kamar raja, besok hadiah sekantung uang akan kudapatkan,
demikian pikir Abunawas.
Keesokan
harinya, Abunawas keluar kamar. Baginda dan seluruh perdana menteri tidak sabar
lagi ingin mendengar hasilnya.
“Bagaimana,
Abu?” tanya Baginda serius.
“Paduka
benar-benar ingin mengetahui isi pembicaraan kedua ekor cecak itu? Apakah
Paduka sudah siap?”
“Cepat
katakan apa yang dibicarakan cecak-cecak itu!” Baginda mulai marah.
“Baik,
Paduka. Asal Paduka berjanji tidak akan marah mendengarnya.” Abunawas
mengambil napas diikuti pandangan Baginda yang tidak sabar itu. “Begini,
Paduka. Kedua cecak itu sebenarnya mengatakan kalau Paduka itu raja yang bodoh.
Paduka kalah dibandingkan Raja Sulaeman yang bisa memahami bahasa semua
binatang di bumi. Mereka juga mengejek Paduka yang menyuruh hamba memecahkan
masalah ini.”
“Apa?
Kurang asem sekali kamu, Abu, mengatai aku seperti itu!” Baginda bangkit dari
duduknya dan mencak-mencak.
“Lho, lho.
Paduka, kok, marah sama saya. Saya kan, hanya menyampaikan apa yang dikatakan
kedua cecak itu. Lagi pula Paduka sendiri yang menginginkannya,” elak Abunawas.
Baginda
manggut-manggut. “Iya, ya, aku sendiri yang ingin mengetahui percakapan mereka.
Tapi… apa betul yang dikatakan kedua cecak itu? Jangan-jangan itu cuma
akal-akalanmu saja.”
“Ya,
sudah, kalau tak percaya. Paduka tanya sendiri saja pada kedua cecak itu,”
balas Abunawas.
“Bagaimana
caranya?” Baginda penasaran.
“Paduka
harus menunggu kedua cecak itu keluar lagi. Paduka juga harus bertapa semalaman
seperti saya dan mencatat bunyi cecak itu. Kalau sudah, Paduka harus tinggal di
dalam kamar tiga hari tiga malam tanpa diganggu. Jika Paduka sungguh-sungguh,
maka Paduka bisa mengartikan bahasa cecak itu,” jawab Abunawas sopan.
Baginda
masygul. Tentu saja hal itu mustahil. Biar pun bertapa bertahun-tahun, tentu tak
seorang pun bisa mengerti bahasa binatang. Para perdana menteri mulai gelisah,
khawatir Baginda bertambah marah.
Ternyata,
Baginda menyadari kebodohannya sendiri dan melemparkan sekantung uang ke arah
Abunawas dengan gemas.***
* Cerita ini pernah dimuat di Majalah Mentari nomor 186, tahun 2003
2 komentar
Lucu 😂
Abunawas termasuk cerita berseri di Mentari. Isinya memang harus lucu dan menghibur.
EmoticonEmoticon