Kemampuan berliterasi peserta didik tingkat sekolah menengah yang diuji oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD - Organization for Economic Cooperation and Development) dalam PISA (Programme for International Student Assessment) menunjukkan hasil yang jauh dari memuaskan. Meskipun tes itu dilakukan terhadap beberapa peserta didik secara sampel, sudah cukup mewakili kondisi pendidikan di negara ini.
Peserta didik Indonesia menempati peringkat ke-57
pada PISA 2009 dan berada pada peringkat ke-64 pada PISA 2012 dari 65 negara
yang berpartisipasi dalam PISA pada tahun 2009 dan 2012. Hasil ini menunjukkan
bahwa praktik pendidikan di sekolah belum maksimal menunjukkan fungsinya
sebagai organisasi pembelajaran yang menjadikan warga sekolahnya sebagai
pembelajar sepanjang hayat. Kondisi demikianlah yang melatarbelakangi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengembangkan Gerakan Literasi
Sekolah (GLS) yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di bidang pendidikan
serta pelibatan unsur eksternal dan publik dalam kegiatan GLS.
Sejak didengungkan GLS, sekolah berbondong-bondong
menerapkannya. Sepertinya kegiatan itu tidak terlalu rumit untuk dilaksanakan. Sekolah
beramai-ramai merelakan waktu 15 menit sebelum jam pelajaran bagi peserta didik
untuk membaca sebuah buku. Faktanya, GLS tidak sesederhana yang dibayangkan.
Masih banyak peserta didik yang belum menyadari manfaat GLS ini disebabkan oleh
kurangnya minat baca mereka. Namun, perlu diketahui bahwa faktor utama yang
seharusnya menjadi motor bagi meningkatnya minat baca peserta didik adalah para
pendidik itu sendiri.
Pada 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
sudah menyiapkan buku panduan bagi para pendidik di sekolah dasar sebagai
rambu-rambu dalam pelaksanaan GLS. Dalam buku panduan tersebut dijelaskan
adanya tiga tahap pelaksanaan GLS, yaitu penumbuhan minat baca, meningkatkan
kemampuan literasi melalui kegiatan menanggapi buku pengayaan, dan meningkatkan
kemampuan literasi di semua mata pelajaran: menggunakan buku pengayaan dan strategi
membaca di semua mata pelajaran. Tinggal diperlukan kemauan dan strategi yang
jitu oleh para pendidik untuk mengaplikasikannya di dalam kelas guna tercapainya
tujuan GLS serta peningkatan mutu sekolah dasar itu sendiri.
Pilih
Bacaan yang Sesuai
Peserta didik di kelas rendah memiliki ketertarikan terhadap
buku dengan ukuran lebih besar, banyak gambar dengan warna mencolok (picture book), teks sederhana atau
tidak ada sama sekali, serta buku yang melibatkan psikomotor mereka seperti
buku buka tutup (flip flap book) atau
buku sibuk (busy book). Cerita-cerita
dengan tokoh-tokoh yang dikenal akrab seperti binatang, tokoh dari film kartun
kesukaan, dan tokoh yang dekat dengan keseharian mereka akan menjadi daya tarik
yang luar biasa untuk menumbuhkan minat membaca.
Sementara peserta didik di kelas yang lebih tinggi cenderung
menyukai buku-buku berisi petualangan, misteri, dan kehidupan sehari-hari yang
menarik. Ukuran buku lebih kecil, masih bergambar namun kaya teks (ilustrated book), kalau perlu komik, dan
berupa novel baik bentuk cetak maupun digital.
Pendidik harus proaktif mencari dan mengumpulkan
buku-buku yang menjadi minat peserta didiknya. Selain itu, para pendidik juga
harus menawarkan buku-buku bacaan yang sesuai dengan konten materi pelajaran
yang sesuai dengan jenjang kelas peserta didik.
Hindari
Menulis
Masalah utama yang memengaruhi minat peserta didik
untuk membaca adalah enggan disuruh menuliskan kembali isi buku. Membaca saja
masih belum minat, mengapa sudah harus menulis? Untuk membuat sebuah tulisan
sederhana, sekalipun itu sekadar menceritakan pengalaman yang dilalui peserta
didik ketika liburan, bisa menjadi momok yang menakutkan, sebab mereka masih
kesulitan menyusun kata-kata untuk mengolah pengalaman pribadi menjadi kalimat
yang padu. Kendala demikian seharusnya bisa dihindari dengan lebih banyak
membaca terlebih dahulu.
Menumbuhkan minat baca termasuk dalam tahap
pembiasaan dalam GLS. Hal ini yang seharusnya menjadi penekanan kegiatan
literasi di sekolah. Jika tahap ini sudah terlampaui dengan baik dan anak-anak sudah
memiliki minat baca yang lebih tinggi dari sebelumnya, baik terhadap buku fiksi
maupun non fiksi, barulah sekolah menuju tahap pengembangan, termasuk menulis.
Penumbuhan minat baca peserta didik di tahap
pembiasaan ini bisa jadi akan berlangsung selama satu semester penuh sampai peserta
didik benar-benar jatuh hati pada buku. Sebab melalui buku, peserta didik akan menyimpan
banyak kosa kata, berbagai hubungan, dan konsep dalam otaknya. Memang dibutuhkan
ekstra kesabaran dalam menumbuhkan minat baca karena itu tidak semudah membalik
telapak tangan. Para pendidik seharusnya peka dalam hal ini. Sebab, mencintai
buku untuk menumbuhkan minat baca sebenarnya bukan hanya untuk diterapkan
kepada peserta didik saja, melainkan para pendidiknya juga.
Baca
Kapan Saja, Di mana Saja
Apakah waktu 15 menit sebelum jam pelajaran itu
mutlak disediakan bagi peserta didik untuk membaca suatu buku? Apakah tidak
diperkenankan jika waktu membaca itu dipindahkan ke dalam jam pelajaran?
Membaca bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Di
atas tadi sudah dijelaskan bahwa para pendidik sebaiknya menawarkan buku pengayaan
dengan konten yang sesuai dengan pelajaran peserta didik saat itu. Daripada
memisahkan waktu membaca tersendiri, alangkah lebih efisien dan efektif apabila
kegiatan membaca itu terintegrasi dengan mata pelajaran yang sedang dipelajari
peserta didik.
Sebagai contoh, dalam kelas IV berlangsung pelajaran
IPA dengan materi hubungan antarmakhluk hidup (simbiosis). Strategi yang dapat
dilakukan adalah mengajak peserta didik lebih dulu membaca atau dibacakan buku cerita
berjudul Hiu dan Remora (atau sejenisnya). Setelah itu peserta didik mendiskusikan
isi buku cerita tersebut dan dilanjutkan dengan kegiatan mencari contoh-contoh simbiosis lainnya. Tentunya pendidik sudah
menyediakan beberapa buku atau referensi yang memadai, baik dalam pojok buku di
kelas maupun di perpustakaan. Dengan strategi seperti ini, pembelajaran IPA
akan terasa lebih hidup dan peserta didik lebih mudah menerima informasi baru karena
mereka sendiri terlibat di dalamnya melalui kisah-kisah dari buku pengayaan
yang dibaca.
Kolaborasi
Materi Pelajaran
Buku bisa menjadi bahan kolaborasi di antara masing-masing
mata pelajaran. Selama ini para pendidik masih mengeluh dengan padatnya materi
pelajaran sehingga mereka merasa selalu kekurangan jam untuk menyelesaikan
seluruh materi secara tuntas. Sebenarnya kolaborasi ini cukup menarik, efektif, dan efisien, juga
membuat peserta didik tidak merasakan mengikuti banyak mata pelajaran apabila
dikemas pendidik melalui kegiatan yang lebih menyenangkan.
Buku sebagai bahan kolaborasi dalam pembelajaran bisa
dipraktikkan dengan contoh materi pelajaran mengenai profesi seseorang.
Pendidik menyediakan buku-buku pengayaan mengenai profesi dan peserta didik
diberi kesempatan untuk membaca dilanjutkan brainstorming
mengenai masing-masing profesi. Selanjutnya, pendidik mengajak peserta didik
untuk mempelajari beberapa tata bahasa di dalam buku pengayaan tersebut,
misalnya mencari kata dasar dan kata berimbuhan. Kreativitas pendidik
diperlukan untuk mengembangkan rasa peduli, ingin tahu, cakap berkomunikasi,
dan menumbuhkan kontribusi sosial dengan mengajak peserta didik bermain peran
yang menghubungkan beberapa profesi seperti: pemadam kebakaran yang sakit flu
lantas berobat ke dokter. Atau bisa juga belajar menghitung berapa pendapatan
yang diterima suatu profesi dalam sebulan atau setahun.
Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Sekali kegiatan,
peserta didik sudah menyelesaikan beberapa mata pelajaran: IPS, Bahasa
Indonesia, Matematika. Bisa jadi lebih banyak mata pelajaran yang akan tercakup
di dalamnya apabila pendidik memiliki kreativitas lebih tinggi. Tidak menutup
kemungkinan juga buku tentang profesi ini menjadi kolaborasi antarpendidik,
misalnya guru kelas dengan guru bahasa Inggris atau guru Seni Budaya dan
Prakarya.
Buku
Wajib
Sekolah-sekolah di luar sana sudah menerapkan
buku-buku wajib untuk dibaca dan didiskusikan bersama peserta didiknya di dalam
kelas. Sementara masih jarang, atau bisa jadi belum ada di sini, sekolah
sebagai organisasi pembelajaran menentukan buku bacaan wajib bagi peserta didik
di tiap jenjang kelas. Kegiatan ini sebenarnya
dapat memfasilitasi peserta didik untuk menyampaikan gagasan-gagasan mereka
terhadap berbagai hal selain menunjang kegiatan pembelajaran.
Sayangnya ini bukan program kegiatan yang murah,
sebab peserta didik wajib memiliki buku mereka sendiri. Jika sekolah berusaha menyediakannya
sendiri, tentu membutuhkan dukungan dana yang juga cukup besar.
Tidak ada kata putus asa untuk kemajuan, bukan?
Sekolah bisa duduk bersama orang tua dan para pemangku kepentingan untuk membicarakan
hal ini di awal tahun pelajaran. Banyak cara bisa dilakukan untuk mendukung
penyediaan buku-buku wajib bagi peserta didik. Apakah dari iuran orang tua,
sumbangan para pemangku kepentingan, bekerjasama dengan pihak lain, atau dengan
mengajak peserta didik menabung pada semester ganjil untuk membeli sebuah buku
wajib yang akan digunakan pada semester berikutnya.
Tentu saja pemilihan buku wajib yang akan digunakan
sudah harus dipertimbangkan masak-masak, baik dari segi format buku, jenis dan
ukuran huruf yang digunakan, konten, dan ilustrasi buku. Pertimbangan-pertimbangan
ini seyogyanya mengacu pada tahap perkembangan peserta didik dan juga kebutuhan
mendasar bangsa.
Buku
sebagai Hadiah
Banyak kegiatan sekolah yang memberikan reward atau hadiah pada warga sekolahnya
berupa barang-barang selain buku bacaan. Ini bisa diubah menjadi sebuah strategi
untuk menumbuhkan minat baca warga sekolah pada umumnya dan peserta didik pada khususnya
dengan menggunakan buku sebagai hadiah.
Pemberian hadiah sebuah buku akan lebih bermanfaat dan
tidak sia-sia apabila disesuaikan dengan si calon penerima hadiah. Bagaimana
karakternya, apa yang menjadi minatnya, dan apa yang sedang disukainya. Hadiah
buku ini tentu akan meningkatkan keterampilan dan rasa percaya diri penerima hadiah.
Masih ada puluhan, ratusan bahkan ribuan strategi di
luar sana yang dapat dicobakan untuk menumbuhkan minat baca pada warga sekolah.
Dibutuhkan kemauan dan dukungan berbagai pihak dalam pelaksanaannya. Mutu
pendidikan dasar di negara ini bergantung penuh pada sekolah-sekolah dasar yang
menjadi pondasi utama jenjang pendidikan selanjutnya. Pembelajaran tidak akan
berhasil tanpa membaca, membaca tidak akan sempurna tanpa jatuh hati dan mencintai
buku lebih dahulu.***
Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Menulis Artikel Ilmiah Populer Sekolah Dasar 2017 oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (http://ditpsd.kemdikbud.go.id/)
EmoticonEmoticon